Setiap perjalanan ke luar kota, terlebih ke luar negeri (LN), biasanya ada saja kisah atau cerita menarik, lucu, unik, senang, sedih, atau bahkan berbau horor. Itu pula yang terjadi saat rombongan Fakultas Dakwah Universitas PTIQ Jakarta melawat ke Kuala Lumpr (KL) Malaysia dan Narathiwat Thailand dari 13-16 Agustus 2024. Tujuan ke negeri jiran tersebut untuk melakukan riset dakwah dan media serta pengabdian masyarakat.
Tanda-tanda perjalanan akan sarat drama dimulai saat keberangkatan dari Jakarta menuju Bandara Soekarno Hatta (Soetta). Pasalnya kami bertiga, saya (Achmad Fachrudin), KH. Muhasyim, dan Dr. Ellys, mengalami sejumlah peristiwa atau kejadian, apa yang oleh Dr. Ellys Lestari Pambayun, disebut sebagai Drama Korea (Drakor).
Peristiwa Drakor diawali ketika saya dan KH. Muhasyim lupa bahwa jadwal take of dari Bandra Soetta Tangerang Selatan ke Kuala Lumpur Malaysia pada hari Selasa (13/8) pagi, tepatnya pukul 06.30 WIB, seperti tertulis di tiket pesawat Air Asia. Mestinya calon penumpang sudah berada di area keberangkatan (departure) minimal setengah jam sebelum take of. Bahkan disarankan sejam sebelumnya karena banyak hal yang harus diurus dan diselesaikan di bandara, apalagi jika berpergian ke LN.
Agar lebih safety, ketua rombongan Dr. Topikurahman (Dekan Fakultas Dakwah), dan Dito Afif Pratama (Kepala Program Studi Ekonomi Syariah) dan sekaligus sebagai event organizer pemberangkatan, berkali-kali mengingatkan melalui grup WhatsApp agar semua anggota rombongan tiba di bandara Soetta pukul 03.00 WIB. Paling lambat pukul 04.00 WIB. Dengan titik kumpul di Restoran Solaria, lantai 2 Bandara Soetta.
Namun yang namanya manusia dan juga mungkin karena fakta U (umur), saya dan KH. Muhasyim tidak ngeh bahwa take of ke KL pagi hari. Sebaliknya, saya meyakini berkumpul pada sore hari (sekitar pukul 15.00 atau 16.00 WIB) dan take of pukul 18.30 WIB. Maka ketika Dr. Taufik mengonfirmasi tentang keberadaan saya sekitar pukul 04.00 WIB, saya terperanjat dan gelagapan untuk menjawabnya karena masih berada di rumah.
Maka, tanpa berpikir panjang langsung bergegas menuju Bandara Soetta dengan mengendarai mobil pribadi. Untung perlengkapan pakaian yang akan saya bawa ke KL dan Thailand serta paspor sudah disiapkan oleh istri pada malam harinya. Jika hal tersebut belum dipersiapkan, bisa dipastikan saya gagal bertandang ke negeri jiran tersebut.
Dengan perasaan was-was dan pasrah akan ketinggalan pesawat, Alhamdulillah saya berhasil tiba di Bandara Soetta sekitar pukul 05.30 WIB. Itupun dengan diselingi harus menyasar. Lima belas menit kemudian, KH. Muhasyim tiba di Bandara Soetta. Alasan keterlambatan persis sama dengan saya. Tidak ngeh jika keberangkatan ke LN pagi hari. Tahunya sore hari. Sesampainya di Bandara, pak Dito, sudah menunggu di lobi bandara Soetta sendirian. Karena enam orang anggota rombongan lain sudah berada di ruang tunggu (waiting room) di dalam Bandara Soetta. Drakor belum berakhir. Saat saya dan KH. Muhasyim masih di lobi bandara, saya mendengar terjadi percakapan Dito melalui hapenya dengan Dr. Ellys: “sudah sampai dimana bu?”, ujar pak Dito. Lalu dijawab dengan enteng oleh Dr. Ellys: “saya sudah memasuki Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur”. Sontak saja, kami bertiga yang mendengar percakapan tersebut kaget bukan kepalang. Namun qudratullah, Dr. Ellys mampu melecut kendarannya dengan cepat hingga tiba di Bandara Soetta sekitar pukul 06.10 WIB. Atau sekitar 20 menit jelang pesawat take of ke KL. Berbeda dangan alasan keterlambatan saya dan KH. Muhasyim, Dr. Ellys mengaku, biasanya jika keluar kota naik pesawat melalui Bandara Halim.
Usai melewati masa-masa kritis karena mengalami keterlambatan tiba di bandara, saya dan KH. Muhasyim bergegas menuju ruang tunggu penumpang di Gate F2 Bandara Soetta. Sebelum sampai di tujuan, harus lolos pemeriksaan petugas keamaaan bandara (security check). Disini kembali terjadi sedikit insiden karena tas jinjing milik KH. Muhasyim harus ditahan dan diperiksa cukup lama oleh petugas. Sekitar 15 menit, tanpa alasan jelas. Saya yang sudah lolos pemeriksaan harus bolak-balik untuk menjemput KH. Muhasyim namun ditolak petugas. Ini saya lakukan karena sayup-sayup terdengar beberapa kali pengumuman, para penumpang dipersilakan masuk ke pesawat dengan tujuan KL. Selang lima belas menit kemudian, pemeriksaan dianggap selesai.
Lalu dengan langkah gontai sambil menenteng tas jinjing, KH. Muhasyim berjalan melawati Garbarata menuju pesawat. Di dalam Garbarata sudah menunggu Dito dan Dr. Ellys. Kami berempat tidak bisa menyembunyikan berbagai perasaan yang berkecamuk kala itu: antara senang, susah, heran dan sebagainya. Sebagai peringatan atas secuil Drakor di Bandara Soetta menuju Bandara KL, kami berempat mengabadikan dengan berfoto selfi.
Mungkin timbul pertanyaan: “mengapa saya, KH. Muhasyim dan Dr. Ellys masih bisa take of. Padahal mestinya harus sekitar satu atau setengah jam sebelumnya sudah beres mengurus segala dokumen keberangkatan?” Jawabanya tak lain karena keprofesionalan dan pengalaman Dito sebagai even organizer/tour guide yang sudah mengantisipasi berbagai kemungkinan dan peristiwa yang bakal terjadi. Itulah sebabnya, sebelum take of, Dito sudah mengurus semua dokumen perjalanan (dari mulai tiket, check in, paspor, boarding pass hingga sampaidi Bandara KL). Sehingga akhirnya di injury time, kami tetap bisa tetap take of ke Malaysia dan Thailand.
Ditulis Oleh:
Ahmad Fahrudin, M.Si. (Abah)
Kaprodi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK)