Polemik Kafir Atau Non Muslim Terjawab Dalam Seminar Nasional di Institut PTIQ Jakarta

Polemik Kafir Atau Non Muslim Terjawab Dalam Seminar Nasional di Institut PTIQ Jakarta

Warta PTIQ – Himpunan Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir menggelar seminar nasional, Kamis (14/3/2019).

Acara ini terselenggara bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)  komisariat Bening Juang.

Seminar bertajuk “Kafir/Non Muslim: Toleransi dalam Negara Demokrasi” ini memenuhi ruangan auditorium Institut PTIQ Jakarta lantai 2.

Peserta dihadiri tidak hanya dari mahasiswa Institut PTIQ, tapi juga mahasiwa dari berbagai kampus di sekitar Jakarta.

Ada empat narasumber yang diundang oleh panitia dalam acara ini. Mereka adalah Dr. Eggy Sudjana,  M. Si (Lawyer/aktifis muslim), Andi Rahman, MA (Intelektual Mislim/Dekan Fakultas Ushuluddin PTIQ), KH. Muhammad Cholil Nafis, Lc. M.A.,Ph.D. (Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat.) dan Dr. Wawan Hari Purwanto, S. H. (Direktur Komunikasi dan Informasi BIN).

Polemik ungkapan kafir yang diganti non muslim pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Nahdlatul Ulama (NU) beberapa minggu lalu menuai kontroversi.

Pak Eggy dalam pemaparannya tidak menyetujui adanya penggantian tersebut. Alasannya, dalam al-Qur’an sendiri dengan jelas menyebut orang yang tidak beriman sebagai kafir. Misalnya, ia menyebut surat al Kafirun. Selain itu ia juga mengutip at Tahrim ayat 9 yang memerintahkan Nabi untuk bersikap keras kepada orang kafir dan orang munafik. Tanpa menjelaskan konteksnya, melalui ayat-ayat yang dikutipnya, pak Eggy dengan tegas menyatakan bahwa Islam mengajarkan keras pada orang kafir. Sehingga penggantian ungkapan kafir menjadi non muslim bukanlah ajaran Islam.

Sebagai penyeimbang dari paparan Pak Eggy, Pak Cholil Nafis memulai bahwa terminologi kafir tidak digunakan dalam negara bangsa. Menurutnya,

Keputusan Munas Alim Ulama NU tidak ada yg salah.

“Dalam konteks negara bangsa, pemeluk agama selain Islam tidak masuk kategori kafir yang ada dalam kitab, misalnya, Ahkam Sultoniyah,” lanjut Dosen Siyasah Syar’iyah di UIN Syarif Hidayatullah ini.

Baginya, keputusan NU untuk tidak menyebut pemeluk agama lain di Indonesia dengan kata kafir tetapi diganti dengan non muslim tidak ada yang salah. Hanya saja, “Timingnya yang salah, yaitu pada tahun politik,” tegasnya.

Ia juga menegaskan bahwa Nu tidak menghapus kata kafir.

Narasumber lain yang menjadi Keynote speaker dalam acara ini, Dr. Wawan Hari Purwanto, S. H., Direktur Komunikasi dan Informasi BIN, juga menjelaskan bahwa secara konstitusi penggantian itu tidak ada masalah, untuk menghormati dalam ruang publik. Alasannya ialah mengukuhkan semangat kebersamaan dalam membangun bangsa.

Ia memaparkan bahwa masyarakat Indonesia harus membangun sikap toleran yang mempersatukan seperti menjalankan ritual agama masing-masing, menebarkan pesan perdamaian, memahami perpedaan dan kepercayaan masing-masing, pancasila tetap mempersatukan, jangan sampai terjadi adu domba karena salah paham, dan jika ada konflik maka musyawarahlah, serta taati agama masing-masing dan jauhi larangan.

Sebagai narasumber terakhir, Pak Andi Rahman, Dekan Fakultas Ushuluddin PTIQ juga menegaskan bahwa  Al-Qur’an membawa mandat toleransi. Yang menjadi contoh kongkret dari penerapan toleransi ini ialah apa yang dilakukan dan diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Acara diakhiri dengan tanya jawab dan tanggapan dari peserta seminar.

About the Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these